Drop Down MenusCSS Drop Down MenuPure CSS Dropdown Menu

Senin, 31 Oktober 2016

puisi puisi cak nun





Drop Down MenusHati Semesta

Betapa dahsyat penciptaan hati
Bagai Tuhan itu sendiri
Oleh apa pun tak terwakili:
Ia adalah Ia sendiri

Semalam batok kepalaku pecah
Dipukul orang dari belakang
Tatkala bangun di pagi merekah
Hatiku telah memaafkan
Hati bermuatan seribu alam semesta
Dindingnya keremangan
Kalau kau keliru sapa

Ia berlagak jadi batu seonggokan
Kepala negara hingga kuli mengincar
Menjebak dan mencuri hidupmu
Namun betapa ajaib sesudah siuman
Kau percaya lagi

Betapa Tuhan serasa hati ini
Dicacah dilukai berulangkali
Berdarah-darah dan mati beribu kali
Esok terbit jadi matahari
1994
Sawah itu Rahim Ibunda

(1)
Sawah itu rahim Ibunda
Yang mengandungmu dengan sengsara
Melahirkanmu dengan hentakan rasa sakit
Sambil berurai airmata cinta
Padi dan palawija di atasnya
Menyusui perjalanan sejarahmu
Padi, sawah, alam, bukanlah bagian dari dirimu
Engkaulah bagian yang bergantung pada mereka

(2)
Jika diinjak oleh kaki para petani
Sawah-sawah merasa amat bahagia
Tancapan cangkul Bapak-bapak itu
Membuat mereka memperoleh kemuliaan
dari Sang Maha Agung Pemiliknya
Sama mulianya dengan ayam yang disembelih
Sama tinggi karamahnya dengan buah
yang dipetik dari tangkainya
Serta akan berbarengan memasuki surga
Dengan tanah yang dipelihara kegunaannya
buat kesejahteraan manusia
Hati petani adalah lumpur
Sangat karib dengan Tuhan dan penuh syukur
Hujan keringat mereka menjadi telaga
Tempat para Malaikat mandi jiwa

(3)
Tapi kelak engkau akan terpana
Karena sawah-sawah berpindah
tempat tinggalnya
Dari bersemayam agung di alam semesta
Sawah-sawah ditransmigrasikan ke buku-buku
administrasi negara
Kemudian engkau akan lebih  terheran-heran
Karena Negara pun telah berganti
alamatnya
Dari kampung permai hatinurani rakyat
Berpindah ke genggaman tangan
sekelompok orang yang berlagak malaikat

(4)
Sawah adalah rahim Ibunda
Rahim adalah kelopak bunga kasih Tuhan
kepada hamba-hambaNya
Kepada siapa pun yang mengingkarinya
Tuhan menyatakan perang kepadanya
1993

Rumah Cor Api

Demi keadilan
hukum disingkirkan
Demi kebenaran
pengabulan ganti rugi dibatalkan
Demi ketenteraman

Air ludah harus kembali ditelan
Karena cahaya kemajuan harus memancar
Maka panduan dan penerangan harus luas tersebar
Karena program-program pembangunan harus lancar
Maka terkadang pasar ini dan bangunan itu perlu dibakar

Lihatlah rumah-rumah cor api
Lihatlah gedung-gedung berdiri di atas kuburan
Batu-batanya terbuat dari kesengsaraan dan airmata
Tembok-temboknya rekat oleh akumulasi ratapan
Tiang-tiangnya tegak karena disangga oleh pengorbanan

Di seberang itu engkau memandang
Rumah-rumah didirikan
Dekat di sisiku aku saksikan
Rumah-rumah digilas dan dirobohkan
Nun di sana engkau melihat
Rumah-rumah disusun-susun
Nun di sini aku menatap
Penduduk terusir berduyun-duyun
Ketika engkau berdiri di depan
hamparan tanah luas yang engkau beli
untuk mendirikan ratusan rumah dan
ribuan pemukiman manusia abad 21,
 pernahkah terlintas di kepalamu
ingatan tentang beribu-ribu saudara-saudaramu
yang kehilangan tanahnya
Pernahkah engkau ingat betapa beribu-ribu orang itu
tak dianggap memiliki hak untuk mempertahankan tanahnya,
dan ketika mereka terpaksa menjualnya,
mereka juga tak dianggap memiliki hak untuk menentukan
harga petak-petak tanah mereka

Ketika engkau menempati rumah itu, tahukah engkau
siapa nama tukang-tukang yang menumpuk batu-batanya,
yang mengangkut pasir dan memasang genting-genting
Ketika engkau memijakkan kakimu di lantai rumahmu
dan meletakkan punggungmu di kasur ranjang,
pernahkah engkau catat kemungkinan muatan
korupsi dan kolusi di dalam proses pembuatannya,
sejak tahap tender sampai
pemasangan cungkup di puncaknya

Bagi berjuta-juta saudara-saudaramu yang
tak senasib denganmu, yang bertempat tinggal
tidak di pusat uang dan kekuasaan:
pernah engkau sekedar berdoa saja
bagi kesejahteraan mereka
Dunia sudah amat tua
Darahnya kita hisap bersama-sama
Kehidupan semakin rapuh
Dan sakit kita tidak semakin sembuh
Langit robek-robek

Badan kita akan semakin dipanggang hawa panas
Sejumlah pulau akan tenggelam
Lainnya menjadi rawa-rawa
Anak cucumu akan hidup sengsara
Karena rangsum alam bagi masa depan
telah dihisap dengan semena-mena
1994

Waktu

Waktu menapaki tanah
Waktu bersijingkat, amat perlahan, di jalanan desaku
Jika saja diperkenankan,
Waktu pengin tinggal abadi padanya,
Waktu tak akan pergi darinya

Sedangkan di kota-kota Waktu melintas sesaat dan
bernapsu cepat-cepat minggat
Karena kota lupa padanya
Karena kota merengkuh Waktu,
mengepaknya dalam paket-paket
Karena kota menghinakannya,
menyamakannya dengan lempengan mata uang!
Waktu hinggap di pucuk-pucuk pepohonan,
menggerakkan dedaunan

Waktu bernyanyi di paruh burung-burung
Waktu mengaliri sungai-sungai, sampai ke seribu muara,
menjadikan samudera bergolak,
beribu samudera menjadi lingkaran sungai-sungai
Waktu berlompatan dari planet ke planet, dari galaksi ke galaksi
Pada langkahnya yang kedua ilmu pengetahuan manusia
mulai diejeknya, lantas pada langkah ketiga
kesombongan peradabanmu
akan sudah sangat memuakkannya

Waktu melewatimu, menyentuh tengkukmu dan
saat itu juga meninggalkanmu
Waktu mengucapkan salamnya kepadamu setiap
sepertakterhingga detik, menjadikanmu berusia setahun, dua
tahun, tiga tahun
Berusia setahun, dua tahun, tiga tahun,
tanpa pernah usia itu menjadi milikmu,
karena pertambahan kehadiran

Waktu padamu adalah pengurangan jatahnya atas hakmu
Waktu hadir di malam pesta ulang tahunmu,
untuk mengingatkan bahwa yang bisa ia ucapkan kepadamu
hanyalah selamat tinggal yang pedih
Waktu berpapasan dengan usiamu: Siapakah engkau?
Engkau adalah tegangan yang muncul
tatkala mereka bersalaman

Waktu bertegur sapa dengan usiamu:
Siapakah namamu? Ialah sekelebatan
bayangan yang melintas ketika sorot mata mereka bertemu
Waktu berderak-derak menghambur ke satu arah,
dan usiamu melaju berlari ke arah yang sebaliknya
Waktu senantiasa mengucapkan janji kepadamu
untuk bertemu pada suatu hari
di halaman rumah Tuhan, namun belum pernah didengarnya

sungguh-sungguh dari mulutmu jawaban atas janji itu
Waktu senantiasa mengulangi sumpah cintanya
Jika dari mulutmu ia cium bau harum karena kemuliaan hatimu,
maka dijunjungnya engkau
Jika dari badanmu ia hirup bau busuk
karena ambisi dan keserakahan,
maka usiamu menjadi sampah,
ia campakkan ke ruang-ruang kehinaan
1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar